Pada negara yang telah maju dalam penggunaan internet sebagai alat untuk memfasilitasi setiap aspek kehidupan mereka, perkembangan hukum dunia maya sudah sangat maju. Sebagai kiblat dari perkembangan aspek hukum ini, Amerika Serikat merupakan negara yang telah memiliki banyak perangkat hukum yang mengatur dan menentukan perkembangan Cyber Law.
Model Regulasi
Pertama, membuat berbagai jenis peraturan perundang-undangan yang sifatnya sangat spesifik yang merujuk pada pola pembagian hukum secara konservatif, misalnya regulasi yang mengatur hanya aspek-aspek perdata saja seperti transaksi elektronik, masalah pembuktian perdata, tanda tangan elektronik, pengakuan dokumen elektronik sebagai alat bukti, ganti rugi perdata, dll., disamping itu juga dibuat regulasi secara spesifik yang secara terpisah mengatur tindak pidana teknologi informasi (cyber crime) dalam undang-undang tersendiri.
Kedua, model regulasi komprehensif yang materi muatannya mencakup tidak hanya aspek perdata, tetapi juga aspek administrasi dan pidana, terkait dengan dilanggarnya ketentuan yang menyangkut penyalahgunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK).
Pada negara yang telah maju dalam penggunaan internet sebagai alat untuk memfasilitasi setiap aspek kehidupan mereka, perkembangan hukum dunia maya sudah sangat maju. Sebagai kiblat dari perkembangan aspek hukum ini, Amerika Serikat merupakan negara yang telah memiliki banyak perangkat hukum yang mengatur dan menentukan perkembangan Cyber Law.
Di Amerika, Cyber Law yang mengatur transaksi elektronik dikenal dengan Uniform Electronic Transaction Act (UETA). UETA adalah salah satu dari beberapa Peraturan Perundang-undangan Amerika Serikat yang diusulkan oleh National Conference of Commissioners on Uniform State Laws (NCCUSL). Sejak itu 47 negara bagian, Kolombia, Puerto Rico, dan Pulau Virgin US telah mengadopsinya ke dalam hukum mereka sendiri. Tujuan menyeluruhnya adalah untuk membawa ke jalur hukum negara bagian yang berbeda atas bidang-bidang seperti retensi dokumen kertas, dan keabsahan tanda tangan elektronik sehingga mendukung keabsahan kontrak elektronik sebagai media perjanjian yang layak. UETA 1999 membahas diantaranya mengenai:
Pasal 5:
Mengatur penggunaan dokumen elektronik dan tanda tangan elektronik.
Pasal 7:
Memberikan pengakuan legal untuk dokumen elektronik, tanda tangan elektronik, dan kontrak elektronik.
Pasal 8:
Mengatur informasi dan dokumen yang disajikan untuk semua pihak.
Pasal 9:
Membahas atribusi dan pengaruh dokumen elektronik dan tanda tangan elektronik.
Pasal 10:
Menentukan kondisi-kondisi jika perubahan atau kesalahan dalam dokumen elektronik terjadi dalam transmisi data antara pihak yang bertransaksi.
Pasal 11:
Memungkinkan notaris publik dan pejabat lainnya yang berwenang untuk bertindak secara elektronik, secara efektif menghilangkan persyaratan cap/segel.
Pasal 12:
Menyatakan bahwa kebutuhan “retensi dokumen” dipenuhi dengan mempertahankan dokumen elektronik.
Pasal 13:
Dalam penindakan, bukti dari dokumen atau tanda tangan tidak dapat dikecualikan hanya karena dalam bentuk elektronik.
Pasal 14:
Mengatur mengenai transaksi otomatis.
Pasal 15:
Mendefinisikan waktu dan tempat pengiriman dan penerimaan dokumen elektronik.
Pasal 16:
Mengatur mengenai dokumen yang dipindahtangankan.
Sedangkan di Malaysia sebagai negara pembanding terdekat secara sosiologis, Malaysia sejak tahun 1997 telah mengesahkan dan mengimplementasikan beberapa perundang-undangan yang mengatur berbagai aspek dalam cyber law seperti UU Kejahatan Komputer, UU Tandatangan Digital, UU Komunikasi dan Multimedia, juga perlindungan hak cipta dalam internet melalui amandemen UU Hak Ciptanya. Sementara, RUU Perlindungan Data Personal kini masih digodok di parlemen Malaysia.
The Computer Crime Act itu sendiri mencakup mengenai kejahatan yang dilakukan melalui komputer, karena cyber crime yang dimaksud di negara Malaysia tidak hanya mencakup segala aspek kejahatan/pelanggaran yang berhubungan dengan internet.
Akses secara tak terotorisasi pada material komputer, adalah termasuk
cyber crime. Hal ini berarti, jika saya memiliki komputer dan anda adalah orang yang tidak berhak untuk mengakses komputer saya, karena saya memang tidak mengizinkan anda untuk mengaksesnya, tetapi anda mengakses tanpa seizin saya, maka hal tersebut termasuk
cyber crime, walaupun pada kenyataannya komputer saya tidak terhubung dengan internet.
Lebih lanjut, akses yang termasuk pelanggaran tadi
(cyber crime) mencakup segala usaha untuk membuat komputer melakukan/menjalankan program (kumpulan instruksi yang membuat komputer untuk melakukan satu atau sejumlah aksi sesuai dengan yang diharapkan pembuat instruksi-instruksi tersebut) atau data dari komputer lainnya (milik pelaku pelanggar) secara aman, tak terotorisasi, juga termasuk membuat komputer korban untuk menjalankan fungsi-fungsi tertentu sesuai dengan waktu yang telah ditentukan oleh pelaku pelanggar tadi.
Hukuman atas pelanggaran The computer Crime Act: Denda sebesar lima puluh ribu ringgit (RM50,000) dan atau hukuman kurungan/penjara dengan lama waktu tidak melebihi lima tahun sesuai dengan hukum yang berlaku di negara tersebut (Malaysia).
The Computer Crime Act mencakup, sebagai berikut:
- Mengakses material komputer tanpa ijin
- Menggunakan komputer untuk fungsi yang lain
- Memasuki program rahasia orang lain melalui komputernya
- Mengubah/menghapus program atau data orang lain
- Menyalahgunakan program/data orang lain demi kepentingan pribadi
Cyber Law yang terdapat di Indonesia biasa dikenal dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). UU ITE adalah ketentuan yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia. Pada UU ITE 2008 yang dibahas antara lain:
Pasal 5, 6: Mengatur ketentuan mengenai informasi elektronik yang dianggap sah.
Pasal 7, 8 : Hak seseorang atas informasi/dokumen elektronik.
Pasal 9: Mengatur informasi yang disediakan oleh pelaku usaha yang menawarkan produk melalui sistem elektronik.
Pasal 11: Mengatur keabsahan tanda tangan elektronik.
Pasal 12: Mengatur mengenai kewajiban pemberian keamanan atas tanda tangan elektronik.
Pasal 13, 14: Mengatur mengenai penyelenggaraan sertifikasi elektronik.
Pasal 15, 16: Mengatur mengenai penyelenggaraan sistem elektronik.
Pasal 17-22: Mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi elektronik.
Pasal 23: Mengatur hak kepemilikan dan penggunaan nama domain.
Pasal 24: Mengatur mengenai pengelolaan nama domain.
Pasal 27: Melarang beredarnya informasi/dokumen elektronik yang melanggar kesusilaan, penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, serta pemerasan dan/atau pengancaman.
Pasal 28: Melarang penyebaran berita yang merugikan konsumen dalam transaksi elektronik, serta informasi yang berbau SARA.
Pasal 29: Melarang pengiriman informasi/dokumen elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti individu secara pribadi.
Pasal 30-37: Melarang orang dengan sengaja tanpa hak atau melawan hukum atas komputer, sistem elektronik, informasi elektronik, dan/atau dokumen elektronik oleh pihak yang tidak berwenang.
Pasal 45-51: Mengatur sanksi yang diberikan jika melanggar undang-undang Pasal 27 sampai dengan Pasal 36, yaitu denda antara Rp 600 juta sampai dengan Rp 12 milyar, atau pidana penjara antara 6 sampai 12 tahun.
Cyber Law di Indonesia sudah cukup bagus penanganannya, hanya saja masih terdapat beberapa hal yang kurang seperti masalah
spam dan ODR yang belum dibuat undang-undangnya. Tetapi terkadang masalah tentang pengaduan atau keluhan terhadap suatu instansi di dalam
e-mail dapat membuat pengadu menjadi tersangka padahal hanya bermaksud untuk memberikan suatu masukan agar pengawasannya lebih ditingkatkan.
Sumber :
http://deluthus.blogspot.com/2011/03/pengaturan-regulasi-perbedaan-cyberlaw.html